Panjalu adalah sebuah kerajaan bercorak
Hindu yang terletak di ketinggian 731 m dpl dan berada kaki
Gunung Sawal (1764 m dpl)
Jawa Barat.
Posisi Panjalu dikelilingi oleh benteng alamiah berupa rangkaian
pegunungan , dari sebelah selatan dan timur berdiri kokoh Gunung Sawal
yang memisahkannya dengan wilayah Galuh, bagian baratnya dibentengi oleh
Gunung Cakrabuana yang dahulu menjadi batas dengan Kerajaan Sumedang
Larang dan di sebelah utaranya memanjang Gunung Bitung yang menjadi
batas Kabupaten Ciamis dengan Majalengka yang dahulu merupakan batas
Panjalu dengan Kerajaan Talaga.
[rujukan?]
Secara geografis pada abad ke-13 sampai abad ke-16 (tahun 1200-an sampai dengan tahun 1500-an)
Kerajaan Panjalu berbatasan dengan
Kerajaan Talaga,
Kerajaan Kuningan, dan
Cirebon
di sebelah utara. Di sebelah timur Kerajaan Panjalu berbatasan dengan
Kawali (Ibukota Kemaharajaan Sunda 1333-1482), wilayah selatannya
berbatasan dengan
Kerajaan Galuh, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan
Kerajaan Galunggung dan Kerajaan
Sumedang Larang.
[rujukan?]
Asal mula
Panjalu berasal dari kata
jalu (bhs.
Sunda) yang berarti
jantan, jago, maskulin, yang didahului dengan awalan pa (n). Kata
panjalu berkonotasi dengan kata-kata:
jagoan, jawara, pendekar, warrior (bhs. Inggeris: pejuang, ahli olah perang), dan
knight (bhs. Inggeris:
kesatria,
perwira).
[rujukan?]
Ada pula orang Panjalu yang mengatakan bahwa kata panjalu berarti "perempuan" karena berasal dari kata
jalu yang diberi awalan
pan, sama seperti kata
male (bhs. Inggeris : laki-laki) yang apabila diberi prefiks
fe +
male menjadi
female
(bhs.Inggeris : perempuan). Konon nama ini disandang karena Panjalu
pernah diperintah oleh seorang ratu bernama Ratu Permanadewi.
[rujukan?]
Mengingat sterotip atau anggapan umum watak orang Panjalu sampai
sekarang di mata orang Sunda pada umumnya, atau dibandingkan dengan
watak orang Sunda pada umumnya, orang Panjalu dikenal lebih keras,
militan juga disegani karena konon memiliki banyak ilmu kanuragan
warisan dari nenek moyang mereka, oleh karena itu arti kata Panjalu yang
pertama sepertinya lebih mendekati kesesuaian.
[rujukan?]
Menurut Munoz (2006) Kerajaan Panjalu Ciamis (Jawa Barat) adalah
penerus Kerajaan Panjalu Kediri (Jawa Timur) karena setelah Maharaja
Kertajaya Raja Panjalu Kediri terakhir tewas di tangan Ken Angrok (Ken
Arok) pada tahun 1222, sisa-sisa keluarga dan pengikut Maharaja
Kertajaya itu melarikan diri ke kawasan Panjalu Ciamis. Itulah sebabnya
kedua kerajaan ini mempunyai nama yang sama dan Kerajaan Panjalu Ciamis
adalah penerus peradaban Panjalu Kediri.
Nama Panjalu sendiri mulai dikenal ketika wilayah itu berada dibawah
pemerintahan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang; sebelumnya kawasan Panjalu
lebih dikenal dengan sebutan
Kabuyutan Sawal atau Kabuyutan Gunung Sawal. Istilah
Kabuyutan identik dengan daerah
Kabataraan yaitu daerah yang memiliki kewenangan keagamaan (Hindu) seperti Kabuyutan Galunggung atau Kabataraan Galunggung.
[rujukan?]
Kabuyutan adalah suatu tempat atau kawasan yang dianggap suci dan
biasanya terletak di lokasi yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya,
biasanya di bekas daerah Kabuyutan juga ditemukan situs-situs
megalitik (batu-batuan purba) peninggalan masa
prasejarah.
Kekuasaan Kabataraan (Tahta Suci)
Pendiri Kerajaan Panjalu adalah Batara Tesnajati yang petilasannya terdapat di Karantenan Gunung Sawal. Mengingat gelar
Batara
yang disandangnya, maka kemungkinan besar pada awal berdirinya Panjalu
adalah suatu daerah Kabataraan sama halnya dengan Kabataraan Galunggung
yang didirikan oleh Batara Semplak Waja putera dari Sang Wretikandayun (
670-702), pendiri Kerajaan Galuh.
Daerah Kabataraan adalah tahta suci yang lebih menitikberatkan pada
bidang kebatinan, keagamaan atau spiritual, dengan demikian seorang
Batara selain berperan sebagai Raja juga berperan sebagai
Brahmana atau
Resiguru.
Seorang Batara di Kemaharajaan Sunda mempunyai kedudukan yang sangat
tinggi dan penting karena ia mempunyai satu kekuasaan istimewa yaitu
kekuasaan untuk mengabhiseka atau mentahbiskan atau menginisiasi
penobatan seorang Maharaja yang naik tahta Sunda.
Menurut sumber sejarah Kerajaan Galunggung, para Batara yang pernah
bertahta di Galunggung adalah Batara Semplak Waja, Batara Kuncung Putih,
Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang. Berdasarkan
keterangan Prasasti Geger Hanjuang, Batari Hyang dinobatkan sebagai
penguasa Galunggung pada tanggal 21 Agustus 1111 M atau 13 Bhadrapada
1033 Caka. Kabataraan Galunggung adalah cikal bakal Kerajaan Galunggung
yang dikemudian hari menjadi Kabupaten
Sukapura (
Tasikmalaya).
Besar kemungkinan setelah berakhirnya periode kabataraan di
Galunggung itu kekuasaan kabataraan di Kemaharajaan Sunda dipegang oleh
Batara Tesnajati dari Karantenan Gunung Sawal Panjalu. Adapun para
batara yang pernah bertahta di Karantenan Gunung Sawal adalah Batara
Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih. Pada masa kekuasaan
Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau Sanghyang Rangga Sakti putera
Batara Karimun Putih, Panjalu berubah dari kabataraan menjadi sebuah
daerah kerajaan.
Diperkirakan kekuasaan kabataraan Sunda kala itu dilanjutkan oleh
Batara Prabu Guru Aji Putih di Gunung Tembong Agung, Prabu Guru Aji
Putih adalah seorang tokoh yang menjadi perintis Kerajaan Sumedang
Larang. Prabu Guru Aji Putih digantikan oleh puteranya yang bernama
Prabu Resi
Tajimalela,
menurut sumber sejarah Sumedang Larang, Prabu Resi Tajimalela hidup
sezaman dengan Maharaja Sunda yang bernama Ragamulya Luhurprabawa (
1340-1350).
Prabu Resi Tajimalela digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu Resi
Lembu Agung, kemudian Prabu Resi Lembu Agung digantikan oleh adiknya
yang bernama Prabu Gajah Agung yang berkedudukan di Ciguling. Dibawah
pemerintahan Prabu Gajah Agung, Sumedang Larang bertransisi dari daerah
kabataraan menjadi kerajaan.
Kekuasaan kabataraan di Kemaharajaan Sunda kemudian dilanjutkan oleh
Batara Gunung Picung yang menjadi cikal bakal Kerajaan Talaga (
Majalengka).
Batara Gunung Picung adalah putera Suryadewata, sedangkan Suryadewata
adalah putera bungsu dari Maharaja Sunda yang bernama Ajiguna
Linggawisesa (
1333-1340),
Batara Gunung Picung digantikan oleh puteranya yang bernama Pandita
Prabu Darmasuci, sedangkan Pandita Prabu Darmasuci kemudian digantikan
oleh puteranya yang bernama Begawan Garasiang. Begawan Garasiang
digantikan oleh adiknya sebagai Raja Talaga yang bernama Sunan Talaga
Manggung dan sejak itu pemerintahan Talaga digelar selaku kerajaan.
Hubungan dengan Kemaharajaan Sunda
Kemaharajaan Sunda adalah suatu kerajaan yang merupakan penyatuan dua kerajaan besar di Tanah Sunda yang saling terkait erat, yaitu
Kerajaan Sunda yang didirikan Maharaja Tarusbawa (669-723) dan terletak di sebelah barat Sungai Citarum serta
Kerajaan Galuh
yang didirikan Sang Wretikandayun (670-702) dan terletak di sebelah
timur Sungai Citarum. Kerajaan Sunda dan Galuh adalah pecahan dari
Kerajaan Tarumanagara
(358-669), kemudian kedua kerajaan tersebut dipersatukan kembali
dibawah satu mahkota Maharaja Sunda oleh cicit Wretikandayun bernama
Sanjaya (723-732).
Putera Sena atau Bratasenawa (709-716) Raja Galuh ketiga ini
sebelumnya bergelar Rakeyan Jamri dan setelah menjadi menantu Maharaja
Sunda Tarusbawa diangkat menjadi penguasa Kerajaan Sunda bergelar Sang
Harisdarma. Sang Harisdarma setelah berhasil menyatukan Galuh dengan
Sunda bergelar Sanjaya.
Berdasarkan peninggalan sejarah seperti prasasti dan naskah kuno, ibu
kota Kerajaan Sunda berada di daerah yang sekarang menjadi kota
Bogor yaitu Pakwan Pajajaran, sedangkan ibu kota Kerajaan Galuh adalah yang sekarang menjadi kota
Ciamis, tepatnya di
Kawali.
Namun demikian, banyak sumber peninggalan sejarah yang menyebut
perpaduan kedua kerajaan ini dengan nama Kerajaan Sunda saja atau
tepatnya Kemaharajaan Sunda dan penduduknya sampai sekarang disebut
sebagai orang
Sunda.
Panjalu adalah salah satu kerajaan daerah yang termasuk dalam
kekuasaan Kemaharajaan Sunda karena wilayah Kemaharajaan Sunda sejak
masa Sanjaya (
723-
732) sampai dengan
Sri Baduga Maharaja (
1482-1521) adalah seluruh
Jawa Barat termasuk Provinsi
Banten dan
DKI Jakarta serta bagian barat Provinsi
Jawa Tengah, yaitu mulai dari
Ujung Kulon di sebelah barat sampai ke Sungai Cipamali (Kali Brebes) dan Sungai Ciserayu (Kali Serayu) di sebelah timur.
Menurut
Naskah Wangsakerta, wilayah Kemaharajaan Sunda juga mencakup Provinsi
Lampung sekarang sebagai akibat dari pernikahan antar penguasa daerah itu, salah satunya adalah
Niskala Wastu Kancana (
1371-1475)
yang menikahi Nay Rara Sarkati puteri penguasa Lampung, dan dari
pernikahan itu melahirkan Sang Haliwungan yang naik tahta Pakwan
Pajajaran (Sunda) sebagai
Prabu Susuktunggal (
1475-1482), sedangkan dari Nay Ratna Mayangsari puteri sulung
Hyang Bunisora (
1357-1371), Niskala Wastu Kancana berputera Ningrat Kancana yang naik tahta Kawali (Galuh) sebagai
Prabu Dewa Niskala (
1475-1482).
Lokasi Kerajaan Panjalu yang berbatasan langsung dengan Kawali dan
Galuh juga menunjukkan keterkaitan yang erat dengan Kemaharajaan Sunda
karena menurut Ekadjati (93:75) ada empat kawasan yang pernah menjadi
ibukota Sunda yaitu:
Galuh,
Parahajyan Sunda,
Kawali, dan
Pakwan Pajajaran.
Kerajaan-kerajaan lain yang menjadi bagian dari Kemaharajaan Sunda
adalah: Cirebon Larang, Cirebon Girang, Sindangbarang, Sukapura,
Kidanglamatan, Galuh, Astuna Tajeknasing, Sumedang Larang, Ujung Muhara,
Ajong Kidul, Kamuning Gading, Pancakaki, Tanjung Singguru, Nusa Kalapa,
Banten Girang
dan Ujung Kulon (Hageman,1967:209). Selain itu Sunda juga memiliki
daerah-daerah pelabuhan yang dikepalai oleh seorang Syahbandar yaitu
Bantam (Banten), Pontang (Puntang), Chegujde (Cigede), Tanggerang,
Kalapa (Sunda Kalapa), dan Chimanuk (Cimanuk) (Armando Cortesao,
1944:196).
Kaitan lain yang menarik antara Kemaharajaan Sunda dengan Kerajaan Panjalu adalah bahwa berdasarkan catatan sejarah Sunda,
Hyang Bunisora digantikan oleh keponakan sekaligus menantunya yaitu
Niskala Wastu Kancana yang setelah mangkat dipusarakan di
Nusa Larang, sementara menurut Babad Panjalu tokoh yang dipusarakan di
Nusa Larang adalah
Prabu Rahyang Kancana putera dari
Prabu Sanghyang Borosngora.
Ada dugaan Sanghyang Borosngora yang menjadi Raja Panjalu adalah
Hyang Bunisora Suradipati, ia adalah adik Maharaja Linggabuana yang
gugur di palagan Bubat melawan tentara Majapahit pada tahun 1357. Hyang
Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili keponakannya
yaitu Niskala Wastu Kancana yang baru berusia 9 tahun atas tahta Kawali .
Hyang Bunisora juga dikenal sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru
di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di
Jampang (Sukabumi). Tentunya perlu penelitian lebih lanjut untuk
memastikan dugaan ini.
Sementara itu sumber lain dari luar mengenai kaitan Panjalu dengan Sunda yakni dari
Wawacan Sajarah Galuh memapaparkan bahwa setelah runtuhnya
Pajajaran, maka putera-puteri raja dan rakyat Pajajaran itu melarikan diri ke Panjalu, Kawali, dan Kuningan.
Kaitan dengan Kerajaan Panjalu (Kediri) di Jawa Timur
Pendiri Kerajaan Kahuripan adalah
Airlangga
atau sering pula disingkat Erlangga, yang memerintah tahun 1009-1042,
dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga
Anantawikramottunggadewa. Nama Airlangga berarti air yang melompat. Ia
lahir tahun 990. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa
Isyana dari Kerajaan Medang. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan
Bedahulu, Bali dari Wangsa Warmadewa.
Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali
sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal
Marakata).
Menurut
Prasasti Pucangan, pada tahun 1006 Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu
Dharmawangsa (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota
Kerajaan Medang. Tiba-tiba kota Watan diserbu
Raja Wurawari dari
Lwaram, yang merupakan sekutu
Kerajaan Sriwijaya.
Dalam serangan itu, Dharmawangsa tewas, sedangkan Airlangga lolos ke
hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu
Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup
sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam
pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.
Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut
Kerajaan Kahuripan.
Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibukota
kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Setelah tiga tahun hidup di
hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya
membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Watan sudah hancur,
Airlangga pun membangun ibukota baru bernama Watan Mas di dekat
Gunung Penanggungan. Nama kota ini tercatat dalam
Prasasti Cane (1021).
Menurut
Prasasti Terep
(1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan
diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota
kerajaan sudah pindah ke
Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang).
Menurut
Prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang). Berita ini sesuai dengan naskah
Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja
Panjalu yang berpusat di
Daha.
Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah
Sidoarjo dan
Pasuruan
saja, karena sepeninggal Dharmawangsa, banyak daerah bawahan yang
melepaskan diri. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun
kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan
Wangsa Isyana atas pulau Jawa.
Pada tahun 1023 Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa, Raja
Colamandala dari
India.
Hal ini membuat Airlangga merasa lebih leluasa mempersiapkan diri
menaklukkan pulau Jawa. Penguasa pertama yang dikalahkan oleh Airlangga
adalah Raja Hasin. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa
Raja Wuratan, Wijayawarma Raja Wengker, kemudian Panuda Raja Lewa.
Pada tahun 1031 putera Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula.
Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang
berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya.
Airlangga terpaksa melarikan diri ke Desa Patakan ditemani Mapanji
Tumanggala. Airlangga membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita
itu akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga
dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa
Isyana.
Terakhir, pada tahun 1035 Airlangga menumpas pemberontakan
Wijayawarma Raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma
melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya
sendiri.
Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan
pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang
dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
- Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
- Membangun Bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
- Memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
- Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
- Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
- Memindahkan ibukota dari Kahuripan ke Daha.
Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis
Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik
Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.
Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat
Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan
menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling
dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar
kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka
Catraning Bhuwana.
Menurut cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja
dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli
putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai
Prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi.
Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih
pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat
dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah
satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat
ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan.
Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang
bernama Marakata sebagai Raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan
adik yang lain yaitu Anak Wungsu.
Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada
ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa
pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan
Prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut
Panjalu atau Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur bernama
Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.
Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam
Prasasti Gandhakuti,
24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan
demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara
kedua tanggal tersebut. Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga
meninggal.
Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di
tirtha atau pemandian.
Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah
Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan
Prasasti Pucangan
(1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka,
ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga
dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji
Garasakan.
Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan
pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun
pembangunan candi pemandian tersebut.
Maharaja
Jayabhaya
adalah Raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar
lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara
Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.
Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kadiri.
Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan
(1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157).
Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan
Panjalu Jayati,
yang artinya Kadiri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam
pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kadiri
selama perang melawan Janggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui
kalau Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan
mempersatukannya kembali dengan Kadiri. Kemenangan Jayabhaya atas
Janggala ini disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam
kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tahun
1157.
Sri Maharaja
Kertajaya adalah raja terakhir Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1194-1222. Pada akhir pemerintahannya, ia dikalahkan oleh
Ken Arok dari
Tumapel atau
Singhasari, yang menandai berakhirnya masa Kerajaan Kadiri.
Nama Kertajaya terdapat dalam Nagarakretagama (1365) yang dikarang
ratusan tahun setelah zaman Kadiri. Bukti sejarah keberadaan tokoh
Kertajaya adalah dengan ditemukannya
Prasasti Galunggung (
1194),
Prasasti Kamulan (1194),
Prasasti Palah (1197), dan
Prasasti Wates Kulon
(1205). Dari prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui nama gelar
abhiseka Kertajaya adalah Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara
Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa.
Dalam
Pararaton,
Kertajaya disebut dengan nama Prabu Dandhang Gendis. Dikisahkan pada
akhir pemerintahannya ia menyatakan ingin disembah para pendeta Hindu
dan Buddha. Tentu saja keinginan itu ditolak, meskipun Dandhang Gendis
pamer kesaktian dengan cara duduk di atas sebatang tombak yang berdiri.
Para pendeta memilih berlindung pada Ken Arok, bawahan Dandhang
Gendis yang menjadi akuwu di Tumapel. Ken Arok lalu mengangkat diri
menjadi raja dan menyatakan Tumapel merdeka, lepas dari Kadiri. Dandhang
Gendis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh
Siwa. Mendengar hal itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Guru (nama
lain Siwa) dan bergerak memimpin pasukan menyerang Kadiri.
Perang antara Tumapel dan Kadiri terjadi dekat Desa Ganter tahun
1222.
Para panglima Kadiri yaitu Mahisa Walungan (adik Dandhang Gendis) dan
Gubar Baleman mati di tangan Ken Arok. Dandhang Gendis sendiri melarikan
diri dan bersembunyi naik ke kahyangan.
Nagarakretagama juga mengisahkan secara singkat berita kekalahan
Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan
bersembunyi dalam dewalaya (tempat dewa). Kedua naskah tersebut
(Pararaton dan Nagarakretagama) memberitakan tempat pelarian Kertajaya
adalah alam dewata. Kiranya yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi
di dalam sebuah candi pemujaan, atau mungkin Kertajaya tewas dan menjadi
penghuni alam halus (akhirat)
Sejak tahun 1222 Kadiri menjadi daerah bawahan Tumapel (Singhasari).
Menurut Nagarakretagama, putra Kertajaya yang bernama Jayasabha diangkat
Ken Arok sebagai Bupati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan
putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun 1271 Sastrajaya
digantikan putranya yang bernama Jayakatwang. Pada tahun 1292
Jayakatwang memberontak dan mengakhiri riwayat Tumapel.
Berita tersebut tidak sesuai dengan naskah
Prasasti Mula Malurung (1255), yang mengatakan kalau penguasa Kadiri setelah Kertajaya adalah Bhatara Parameswara putra
Bhatara Siwa
(alias Ken Arok). Adapun Jayakatwang menurut prasasti Penanggungan
adalah Bupati Gelang-Gelang yang kemudian menjadi Raja Kadiri setelah
menghancurkan Tumapel tahun 1292.
Sumber-sumber sejarah Kerajaan Panjalu Ciamis sedikitpun tidak ada
yang menyebutkan secara gamblang hubungannya dengan Kerajaan Panjalu
Kediri, akan tetapi kesamaan nama kedua kerajaan ini sedikit-banyak
menunjukkan adanya benang merah antara keduanya, apalagi nama Raja
Panjalu Kediri Maharaja Kertajaya (1194-1222) juga disebut-sebut dalam
Prasasti Galunggung (1194).
Paul Michel Munoz (2006) mengemukakan bahwa sisa-sisa keluarga dan
pengikut Kertajaya (Raja terakhir Dinasti Sanjaya di Jawa Timur)
melarikan diri ke daerah
Panjalu (Sukapura/Ciamis) pada tahun
1222 untuk menghindari pembantaian Ken Angrok (Ken Arok), pendiri
Kerajaan Singhasari/Dinasti Rajasa. Kertajaya sendiri sebagai Raja
Kediri terakhir tewas dalam pertempuran di Tumapel melawan pemberontakan
Akuwu Tumapel, Ken Angrok.
Berdasarkan kitab Nagarakretagama, Maharaja Kertajaya bersembunyi di
Dewalaya (tempat Dewa) atau tempat suci, maka bukan tidak mungkin
Maharaja Kertajaya sebenarnya tidak tewas di tangan Ken Arok, melainkan
melarikan diri ke Kabataraan Gunung Sawal (Panjalu Ciamis) yang
merupakan tempat suci dimana bertahtanya Batara (Dewa) Tesnajati.
Ibukota Panjalu
Ibukota atau pusat kerajaan Panjalu berpindah-pindah sesuai dengan
perkembangan zaman, beberapa lokasi yang pernah menjadi pusat kerajaan
adalah :
Karantenan Gunung Sawal
Karantenan Gunung Sawal menjadi pusat kerajaan semasa Panjalu menjadi
daerah Kebataraaan, yaitu semasa kekuasaan Batara Tesnajati, Batara
Layah dan Batara Karimun Putih. Di Karantenan Gunung Sawal ini terdapat
mata air suci dan sebuah artefak berupa situs megalitik berbentuk batu
pipih berukuran kira-kira 1,7 m x 1,5 m x 0,2 m. Batu ini diduga kuat
digunakan sebagai sarana upacara-upacara keagamaan, termasuk penobatan
raja-raja Panjalu bahkan mungkin penobatan Maharaja Sunda.
Dayeuhluhur Maparah
Dayeuhluhur (kota tinggi) menjadi pusat pemerintahan sejak masa Prabu
Sanghyang Rangga Gumilang sampai dengan Prabu Sanghyang Cakradewa.
Kaprabon Dayeuhluhur terletak di bukit Citatah tepi Situ Bahara (Situ
Sanghyang). Tidak jauh dari Dayeuhluhur terdapat hutan larangan
Cipanjalu yang menjadi tempat bersemadi Raja-raja Panjalu. Konon
Presiden I RI
Ir Soekarno
juga pernah berziarah ke tempat ini sewaktu mudanya untuk mencari
petunjuk Tuhan YME dalam rangka perjuangan pergerakan kemerdekaan RI.
Nusa Larang
Gerbang Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu
Prabu Sanghyang Borosngora memindahkan kaprabon (kediaman raja) dari Dayeuhluhur ke
Nusa Larang. Nusa Larang adalah sebuah pulau yang terdapat di tengah-tengah
Situ Lengkong. Dinamai juga
Nusa Gede
karena pada zaman dulu ada juga pulau yang lebih kecil bernama Nusa
Pakel (sekarang sudah tidak ada karena menyatu dengan daratan sehingga
menyerupai tanjung). Untuk menyeberangi situ menuju Keraton Nusa Larang
dibangun sebuah
Cukang Padung (jembatan) yang dijaga oleh
Gulang-gulang (penjaga gerbang) bernama Apun Otek. Sementara Nusa Pakel
dijadikan Tamansari dan Hujung Winangun dibangun Kapatihan untuk Patih
Sanghyang Panji Barani.
Dayeuh Nagasari Ciomas
Dayeuh Nagasari dijadikan kediaman raja pada masa pemerintahan Prabu
Rahyang Kancana sampai dengan pemerintahan Bupati Raden Arya Wirabaya.
Dayeuh Nagasari sekarang termasuk kedalam wilayah Desa Ciomas, Kecamatan
Panjalu, Ciamis.
Pada masa pemerintahan Prabu Rahyang Kancana, di Ciomas juga terdapat sebuah pemerintahan daerah yang dikepalai oleh seorang
Dalem (Bupati) bernama Dalem Mangkubumi yang wilayahnya masuk kedalam kekuasaan Kerajaan Panjalu.
Silsilah Ciomas Panjalu
1.
Buyut Asuh.
2.
Buyut Pangasuh.
3.
Buyut Surangganta.
4.
Buyut Suranggading.
5.
Dalem Mangkubumi.
6.
Dalem Penghulu Gusti.
7.
Dalem Wangsaniangga.
8.
Dalem Wangsanangga.
9.
Dalem Margabangsa.
10.
Demang Wangsadipraja. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Arya Sumalah dan Pangeran Arya Sacanata, berputera Demang Wargabangsa I.
11.
Demang Wargabangsa I. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Arya Wirabaya, berputera Demang Wargabangsa II.
12.
Demang Wargabangsa II. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada
masa pemerintahan Tumenggung Wirapraja, memperisteri Nyi Raden Siti
Kalimah binti Raden Jiwakrama bin Pangeran Arya Sacanata, berputera
Demang Diramantri I.
13.
Demang Diramantri I. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada
masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara I, memperisteri Nyi Raden
Panatamantri binti Tumenggung Cakranagara I dan mempunyai tiga orang
anak bernama 1) Demang Diramantri II, 2) Demang Wangsadipraja, dan Nyi
Raden Sanggrana (diperisteri seorang Sultan Cirebon).
14.
Demang Diramantri II. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada
masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara II menggantikan Demang
Suradipraja. Sedangkan sang adik yaitu
Demang Wangsadipraja
menjadi Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara III,
Demang Wangsadipraja mempunyai dua orang anak yaitu: 1) Demang
Prajanagara, dan 2) Demang Cakrayuda.
15.
Demang Prajanagara diangkat menjadi Patih Galuh, sedangkan adiknya yang bernama
Demang Cakrayuda
diangkat menjadi Patih Kuningan. Demang Cakrayuda memperisteri Nyi
Raden Rengganingrum binti Tumenggung Cakranagara II dan menurunkan
putera bernama Demang Dendareja.
16.
Demang Dendareja diangkat menjadi Patih Galuh.
Dayeuh Panjalu
Raden Tumenggung Wirapraja kemudian memindahkan kediaman bupati ke Dayeuh Panjalu sekarang.
Sementara itu pusat kerajaan Panjalu ditandai dengan sembilan
tutunggul gada-gada perjagaan
yaitu patok-patok yang menjadi batas pusat kerajaan sekaligus berfungsi
sebagai pos penjagaan yang dikenal dengan Batara Salapan, yaitu terdiri
dari:
- Sri Manggelong di Kubang Kelong, Rinduwangi
- Sri Manggulang di Cipalika, Bahara
- Kebo Patenggel di Muhara Cilutung, Hujungtiwu
- Sri Keukeuh Saeukeurweuleuh di Ranca Gaul, Tengger
- Lembu Dulur di Giut Tenjolaya, Sindangherang
- Sang Bukas Tangan di Citaman, Citatah
- Batara Terus Patala di Ganjar Ciroke, Golat
- Sang Ratu Lahuta di Gajah Agung Cilimus, Banjarangsana
- Sri Pakuntilan di Curug Goong, Maparah
Menurut cerita yang disampaikan secara turun-temurun, masuknya Islam
ke Panjalu dibawa oleh Sanghyang Borosngora yang tertarik menuntut ilmu
sampai ke Mekkah lalu di-Islamkan oleh
Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. Legenda rakyat ini mirip dengan kisah Pangeran
Kian Santang
atau Sunan Godog Garut, yaitu ketika Kian Santang atau Raja Sangara
(adik Pangeran Cakrabuana Walangsungsang) yang setelah diislamkan oleh
Baginda Ali di Mekkah kemudian berusaha mengislamkan ayahnya Sang
Prabu Siliwangi.
Sementara itu menurut
Babad Panjalu: dari Baginda Ali, Sanghyang Borosngora mendapatkan cinderamata berupa
air zamzam,
pedang, cis (tongkat) dan pakaian kebesaran. Air zamzam tersebut
kemudian dijadikan cikal-bakal air Situ Lengkong, sedangkan
pusaka-pusaka pemberian Baginda Ali itu sampai sekarang masih tersimpan
di
Pasucian Bumi Alit dan dikirabkan setelah disucikan setiap bulan Mulud dalam upacara
Nyangku di Panjalu pada hari Senin atau hari Kamis terakhir bulan Maulud (
Rabiul Awal).
Penyebaran Islam secara serentak dan menyeluruh di tatar Sunda sesungguhnya dimulai sejak
Syarif Hidayatullah (
1448-1568)
diangkat sebagai penguasa Cirebon oleh Pangeran Cakrabuana bergelar
Gusti Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati) dan menyatakan melepaskan diri
dari Kemaharajaan Sunda dengan menghentikan pengiriman upeti pada tahun
1479. Peristiwa ini terjadi ketika wilayah Sunda dipimpin oleh Sang Haliwungan Prabu Susuktunggal (
1475-1482) di Pakwan Pajajaran dan Ningrat Kancana Prabu Dewa Niskala (
1475-1482)
di Kawali. Jauh sebelum itu, para pemeluk agama Islam hanya
terkonsentrasi di daerah-daerah pesisir atau pelabuhan yang penduduknya
banyak melakukan interaksi dengan para saudagar atau pedagang dari
Gujarat, Persia dan Timur Tengah.
Puteri Prabu Susuktunggal yang bernama Nay Kentring Manik Mayang
Sunda kemudian dinikahkan dengan putera Prabu Dewa Niskala yang bernama
Jayadewata. Jayadewata kemudian dinobatkan sebagai penguasa Pakwan
Pajajaran dan Kawali bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan
Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, dengan demikian maka seperti juga
mendiang kakeknya yang bernama Niskala Wastu Kancana ia menyatukan
Pakwan Pajajaran (Sunda) dan Kawali (Galuh) dalam satu mahkota Maharaja
Sunda.
Sri Baduga Maharaja juga memindahkan ibokota Sunda dari Kawali ke
Pakwan Pajajaran, meskipun hal ini bukan kali pertama ibukota
Kemaharaajaan Sunda berpindah antara Sunda dan Galuh, namun salah satu
alasan perpindahan ibukota negara ini diduga kuat sebagai antisipasi
semakin menguatnya kekuasaan Demak dan Cirebon.
Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (
1481-
1521)
kerajaan-kerajaan yang masih mengirimkan upetinya ke Pakwan Pajajaran
adalah Galunggung, Denuh, Talaga, Geger Bandung, Windu Galuh, Malaka,
Mandala, Puma, Lewa dan Kandangwesi (Pleyte, 1911:172). Akan tetapi hal
itu tidak bertahan lama karena satu persatu daerah bawahan Sunda itu
ditaklukan Cirebon.
Raja Talaga Sunan Parunggangsa ditaklukkan Cirebon pada tahun
1529
dan kemudian bersama puterinya Ratu Sunyalarang, juga menantunya
Ranggamantri Pucuk Umun secara sukarela memeluk Islam. Di Sumedang
Larang Ratu Setyasih atau Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umun (
1530-
1579) mengakui kekuasaan Cirebon dan memeluk Islam.
Di Kerajaan Kuningan Ratu Selawati menyerah kepada pasukan Cirebon,
salah seorang puterinya kemudian dinikahkan dengan anak angkat Gusti
Susuhunan Jati yang bernama Suranggajaya, Suranggajaya kemudian diangkat
menjadi Bupati Kuningan bergelar Sang Adipati Kuningan karena Kuningan
menjadi bagian dari Cirebon.
Di kerajaan Galuh, penguasa Galuh yang bernama Ujang Meni bergelar
Maharaja Cipta Sanghyang di Galuh berusaha mempertahankan wilayahnya
dari serbuan pasukan Cirebon, tapi karena kekuatan yang tidak seimbang
maka ia bersama puteranya yang bernama Ujang Ngekel yang kemudian naik
tahta Galuh bergelar Prabu di Galuh Cipta Permana (
1595-1608)
juga mau tak mau harus mengakui kekuasaan Cirebon serta akhirnya
memeluk Islam dengan sukarela. Demikian juga yang terjadi di Kerajaan
Sindangkasih (Majalengka). Berdasarkan rentetan peristiwa-peristiwa yang
terjadi di kerajaan-kerajaan tetangganya tersebut, maka diperkirakan
pada periode yang bersamaan Kerajaan Panjalu juga menjadi taklukan
Cirebon dan menerima penyebaran Islam.
Kemaharajaan Sunda sendiri posisinya semakin lama semakin terjepit
oleh kekuasaan Cirebon-Demak di sebelah timur dan Banten di sebelah
barat. Pada tahun
1579
pasukan koalisi Banten-Cirebon dipimpin oleh Sultan Banten Maulana
Yusuf berhasil mengalahkan pertahanan terakhir pasukan Sunda, kaprabon
dan ibukota Kemaharajaan Sunda yaitu Pakwan Pajajaran berhasil diduduki,
benda-benda yang menjadi simbol Kemaharajaan Sunda diboyong ke Banten
termasuk batu singgasana penobatan Maharaja Sunda berukuran 200cm x
160cm x 20cm yang bernama
Palangka Sriman Sriwacana (orang Banten menyebutnya
Watu Gilang atau batu berkilau) . Akibat peristiwa ini, Prabu Ragamulya Surya Kancana (
1567-1579) beserta seluruh anggota keluarganya menyelamatkan diri dari kaprabon yang menandai berakhirnya Kemaharajaan Sunda.
Menurut sumber sejarah Sumedang Larang, ketika peristiwa itu terjadi
empat orang kepercayaan Prabu Ragamulya Surya Kancana yang dikenal
dengan
Kandaga Lante yang terdiri dari Sanghyang Hawu
(Jayaperkosa), Batara Adipati Wiradijaya (Nangganan), Sanghyang
Kondanghapa dan Batara Pancar Buana (Terong Peot) berhasil menyelamatkan
atribut pakaian kebesaran Maharaja Sunda yang terdiri dari mahkota emas
simbol kekuasaan Raja Pakwan, kalung bersusun dua dan tiga, serta
perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu.
Atribut-atribut kebesaran tersebut kemudian diserahkan kepada Raden
Angkawijaya putera Ratu Inten Dewata (
1530-1579) yang kemudian naik tahta Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (
1579-1601).
Sepeninggal Kemaharajaan Sunda (723-1579), wilayah Jawa Barat terbagi
menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang pada mulanya merupakan bawahan
Sunda. Kerajaan-kerajaan yang masih saling berhubungan darah itu tidak
lepas dari pengaruh kekuasaan Cirebon dan Banten yang sedang berada pada
puncak kejayaannya. Kerajaan-kerajaan itu merupakan kerajaan yang
mandiri dan dipimpin oleh seorang bergelar Prabu, Sanghyang, Rahyang,
Hariang, Pangeran ataupun Sunan, akan tapi mereka mengakui kekuasaan
Cirebon dan Banten. Dua kerajaan bawahan Sunda yang paling luas
wilayahnya adalah Sumedang Larang dan Galuh yang masing-masing dianggap
sebagai penerus Kemaharajaan Sunda.
Pada tahun
1595 Sutawijaya atau
Panembahan Senopati (
1586-
1601) memperluas wilayah kekuasaan
Mataram
ke wilayah Jawa Barat sehingga berhasil menaklukkan Cirebon dan
kemudian menduduki daerah-daerah sekitarnya yang meliputi hampir seluruh
wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan Jayakarta (Batavia). Untuk
mempererat hubungan Mataram-Cirebon ini, Senopati menikahkan salah
seorang saudarinya bernama Ratu Harisbaya dengan pengusasa Cirebon waktu
itu, Panembahan Ratu (
1570-
1649).
Panembahan Senopati digantikan puteranya yaitu Mas Jolang yang naik tahta sebagai
Prabu Hanyokrowati (
1601-1613), Prabu Hanyokrowati lalu digantikan oleh puteranya yang bernama Mas Rangsang, naik tahta Mataram sebagai
Sultan Agung Hanyokrokusumo (
1613-1645).
Pada tahun 1618 Sultan Agung mengangkat putera Prabu di Galuh Cipta
Permana (1595-1608) yang bernama Ujang Ngoko atau Prabu Muda sebagai
Bupati Galuh yang menandai penguasaan Mataram atas Galuh, sebagai bupati
bawahan Mataram ia kemudian bergelar Adipati Panekan (1608-1625).
Adipati Panaekan juga merangkap jabatan sebagai Wedana Bupati (Gubernur)
yang mengepalai Bupati-bupati Priangan (Djadja Sukardja, 1999: 12-6).
Priangan sendiri berasal dari kata
parahyangan yang berarti tempat para
hyang
(dewata), suatu sebutan bagi wilayah bekas Kemaharajaan Sunda yang
sebelumnya menganut agama Hindu, selain itu raja-raja Sunda sering
memakai gelar hyang atau sanghyang yang artinya dewa.
Peristiwa pendudukan Mataram ini di Panjalu diperkirakan terjadi pada
masa pemerintaha Prabu Rahyang Kunang Natabaya karena puteranya yaitu
Raden Arya Sumalah tidak lagi memakai gelar Prabu seperti ayahnya, hal
ini menunjukkan bahwa Panjalu juga sudah menjadi salah satu kabupaten di
bawah Mataram.
Pada tahun 1620 Arya Suryadiwangsa menyerahkan kekuasaannya atas
Sumedang Larang kepada Mataram, Sultan Agung kemudian mengangkat Arya
Suryadiwangsa (
1601-1624)
sebagai Bupati Sumedang Larang bergelar Pangeran Rangga Gempol
Kusumahdinata. Pada tahun 1624 Rangga Gempol ditunjuk sebagai panglima
pasukan Mataram utuk menaklukkan daerah
Sampang,
Madura.
Oleh karena itu jabatan Bupati Sumedang Larang dipegang adiknya yang
bernama Pangeran Rangga Gede (1624-1633) sekaligus merangkap sebagai
Wedana Bupati Priangan menggantikan Adipati Panaekan.
Pada waktu itu Sultan Agung tengah menyiapkan serangan besar-besaran
untuk merebut Benteng Batavia dari tangan Kompeni Belanda dan meminta
para bupati Priangan menunjukkan kesetiaannya dengan mengirimkan pasukan
gabungan untuk menggempur Batavia. Rencana Sultan Agung ini menimbulkan
perbedaan pendapat di antara para bupati Priangan, tahun 1625 Adipati
Panaekan yang berselisih paham dengan Bupati Bojonglopang bernama
Adipati Kertabumi (Wiraperbangsa) tewas di tangan adik iparnya itu.
Kedudukan mendiang Adipati Panaekan sebagai Bupati Galuh lalu digantikan
oleh puteranya yang bernama Ujang Purba bergelar Adipati Imbanagara
(1625-1636).
Pangeran Rangga Gede sebagai Wedana Bupati Priangan oleh Sultan Agung
dianggap tidak mampu mengatasi serangan-serangan Banten di daerah
perbatasan sekitar Sungai Citarum yang saling bersaing berebut pengaruh
dengan Mataram, oleh karena itu kedudukan Wedana Bupati Priangan pada
tahun 1628 digantikan oleh Bupati Ukur (Bandung) yang dikenal dengan
nama
Adipati Ukur
putera Sanghyang Lembu Alas. Ia mengepalai wilayah Ukur (Bandung),
Sumedang Larang, Sukapura, Limbangan, Cianjur, Karawang, Pamanukan dan
Ciasem, sedangkan Rangga Gede dijebloskan ke dalam tahanan.
Adipati Ukur juga sekaligus diangkat menjadi Panglima pasukan Mataram
yang terdiri dari gabungan pasukan kabupaten-kabupaten bawahan Mataram
di Priangan untuk merebut Benteng Batavia dari
VOC (
Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perkumpulan Dagang India Timur) yang dipimpin oleh Gubernur
Jan Pieterszoon Coen (
1619-1623 dan
1627-1629).
Setiap Kabupaten kala itu mengirimkan kontingen pasukannya dalam
penyerbuan ke Batavia dan pemimpin kontingen pasukan dari Galuh adalah
Bagus Sutapura.
Penyerbuan ke Batavia kali ini sesungguhnya adalah penyerbuan yang
kedua. Pada tahun 1628 Mataram telah mengirimkan pasukannya berjumlah
sekitar 10.000 orang untuk merebut Batavia, gelombang pertama pasukan
dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa (Bupati Kendal) yang tiba di Batavia
Agustus 1628. Pasukan kedua tiba di Batavia Oktober 1628 dipimpin
Pangeran Madureja, mereka dibantu oleh para senapati (komandan) yaitu
Tumenggung Sura Agul-agul dan Tumenggung Upasanta. Penyerbuan pertama
ini mengalami kegagalan karena pasukan mengalami kekurangan
logistik/perbekalan. Atas kegagalan ini Sultan Agung menjatuhkan hukuman
mati kepada Tumenggung Bahureksa beserta orang-orang setianya dengan
memenggal kepala mereka di sekitar Batavia.
Dalam penyerbuan kedua ini Mataram mengirimkan 14.000 orang tentara
gabungan Sunda-Jawa untuk merebut Batavia. Pasukan pertama dipimpin oleh
Adipati Ukur dengan balatentara Priangannya yang berangkat ke Batavia
Mei 1629, sedangkan pasukan berikutnya berangkat ke Batavia Juni 1629
dipimpin oleh Adipati Juminah. Pasukan ini juga dibantu oleh
senapati-senapati lainnya yaitu Adipati Purbaya, Adipati Puger,
Tumenggung Singaranu, Raden Arya Wiranatapada, Tumenggung Madiun dan
Kyai Sumenep.
Sejarah mencatat bahwa akibat kurang koordinasi dan kesalahpahaman
dengan armada laut Mataram yang mengepung dari arah laut mengakibatkan
pasukan darat pimpinan Adipati Ukur dan Adipati Juminah menyerang
Batavia lebih dahulu sehingga penyerbuan ini tidak terjadi secara
serempak sesuai dengan siasat perang, akibatnya penyerbuan kedua ini pun
mengalami kegagalan. Sultan Agung yang kecewa segera menjatuhkan vonis
mati kepada Adipati Ukur yang masih berada di sekitar Batavia dan
mengirimkan utusannya untuk memenggal kepala Adipati Ukur beserta para
perwiranya yang setia seperti yang terjadi pada Tumenggung Bahureksa.
Mengetahui dirinya telah dijatuhi vonis mati oleh Sultan Agung,
Adipati Ukur bersama sebagian pasukannya yang setia berbalik memberontak
terhadap Mataram (1628-1632), perlawanan Adipati Ukur bersama
pengikutnya ini terhitung alot karena secara diam-diam sebagian
Bupati-bupati Priangan mendukung pemberontakan Adipati Ukur. Perlawanan
Adipati Ukur baru berhasil dihentikan setelah Mataram mendapatkan
bantuan Ki Wirawangsa dari Umbul Sukakerta, Ki Astamanggala dari Umbul
Cihaurbeuti dan Ki Somahita dari Umbul Sindangkasih.
Atas jasa-jasa mereka memadamkan pemberontakan Adipati Ukur itu, pada
tahun 1633 Sultan Agung mengangkat Ki Wirawangsa menjadi Bupati
Sukapura dengan Gelar
Tumenggung Wiradadaha, Ki Astamanggala menjadi Bupati Bandung dengan gelar
Tumenggung Wiraangun-angun, dan Ki Somahita menjadi Bupati Parakan Muncang dengan gelar
Tumenggung Tanubaya. Bagus Sutapura yang juga berjasa kepada Mataram diangkat sebagai Bupati Kawasen.
Sementara itu Bupati Galuh Adipati Imbanagara dijatuhi hukum mati
oleh Sultan Agung karena dianggap terlibat dalam pemberontakan Adipati
Ukur. Jabatan Wedana Bupati Priangan kemudian dikembalikan kepada
Pangeran Rangga Gede sekaligus menjabat sebagai Bupati Sumedang Larang.
Sewaktu tahta Mataram dipegang oleh putera Sultan Agung yaitu Sunan
Amangkurat I (
1645-1677), antara tahun 1656-1657 jabatan Wedana Bupati Priangan dihapuskan dan wilayah Mataram Barat (Priangan) dibagi menjadi 12
Ajeg (daerah setingkat kabupaten) yaitu: Sumedang, Parakan Muncang (Bandung Timur), Bandung, Sukapura (
Tasikmalaya),
Karawang, Imbanagara (
Ciamis), Kawasen (Ciamis Selatan),
Wirabaya (Ciamis Utara termasuk wilayah Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang), Sindangkasih (Majalengka),
Banyumas, Ayah/Dayeuhluhur (
Kebumen,
Cilacap), dan
Banjar
(Ciamis Timur). Pada waktu itu Raden Arya Wirabaya keponakan Bupati
Panjalu Pangeran Arya Sacanata diangkat menjadi kepala Ajeg Wirabaya.
Pada tahun
1677 Sunan
Amangkurat II (
1677-1703) menyerahkan wilayah Priangan barat dan tengah kepada VOC sebagai imbalan atas bantuan VOC dalam usaha menumpas pemberontakan
Trunajaya, menyusul kemudian pada tahun
1705 Cirebon beserta Priangan Timur juga diserahkan
Pakubuwana I kepada VOC pasca perselisihan antara
Amangkurat III dengan sang paman
Pangeran Puger atau Pakubuwana I (1704-1719).
Dalam masa pendudukan Mataram selama 110 tahun ini (1595-1705), yang
menjabat menjadi Bupati Panjalu secara berturut-turut adalah:
- Raden Arya Sumalah
- Pangeran Arya Sacanata (Pangeran Arya Salingsingan/Pangeran Gandakerta)
- Raden Arya Wirabaya
- Raden Tumenggung Wirapraja
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perkumpulan Dagang India Timur)
Berdasarkan perjanjian VOC dengan Mataram tanggal
5 Oktober 1705,
maka seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten jatuh ke tangan Kompeni.
Untuk mengawasi dan memimpin bupati-bupati Priangan ini, maka pada
tahun 1706 Gubernur Jenderal VOC
Joan van Hoorn (1704-1709) mengangkat
Pangeran Arya Cirebon (
1706-1723) sebagai
opzigter atau Pemangku Wilayah Priangan.
Gubernur Jendral VOC menjadikan para Bupati sebagai pelaksana atau
agen verplichte leverantie atau agen penyerahan wajib tanaman komoditas perdagangan seperti beras cengkeh, pala, lada, kopi, indigo dan tebu.
Kebijakan VOC ini sangat membebani kehidupan rakyat kecil, akibatnya
pada tahun 1703 terjadi kerusuhan yang digerakkan oleh Raden Alit atau
RH Prawatasari seorang
menak (bangsawan) Cianjur keturunan
Panjalu yang berasal dari Jampang (Sukabumi). Kerusuhan yang digerakkan
RH Prawatasari ini melanda seluruh kepentingan VOC di wilayah Priangan
(Jawa Barat) terutama di Cianjur, Bogor, dan Sumedang. Di Priangan timur
terutama Galuh, kerusuhan ini melanda wilayah Utama, Bojonglopang dan
Kawasen.
Namun pemberontakan RH Prawatasari ini akhirnya dapat dipadamkan oleh
VOC pada 12 Juli tahun 1707, Raden Haji Prawatasari tertangkap dalam
satu pertempuran seru di daerah Bagelen, Banyumas yang lalu kemudian di
asingkan ke Kartasura.
Pasca pemberontakan RH Prawatasari, pada masa kepemimpinan Pangeran
Arya Cirebon, Raden Prajasasana (putera Raden Arya Wiradipa bin Pangeran
Arya Sacanata) yang menjadi pamong praja bawahan Pangeran Arya Cirebon
diangkat sebagai Bupati Panjalu yang berada dalam wilayah administratif
Cirebon dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara menggantikan Raden
Tumenggung Wirapraja.
Pada tahun 1810 wilayah Kabupaten Panjalu di bawah pimpinan Raden
Tumenggung Cakranagara III diperluas dengan wilayah Kawali yang
sebelumnya dikepalai Raden Adipati Mangkupraja III (1801-1810). Wilayah
Kawali yang menginduk ke Panjalu ini kemudian dikepalai oleh Raden
Tumenggung Suradipraja I (1810-1819).
Pada tahun
1819, Gubernur Jenderal
Hindia Belanda G.A.G.Ph. Baron Van der Capellen (
1816-
1826)
menggabungkan wilayah-wilayah Kabupaten Panjalu, Kawali, Distrik Cihaur
dan Rancah kedalam Kabupaten Galuh. Dengan demikian pada tahun itu
Raden Tumenggung Cakranagara III dipensiunkan sebagai Bupati Panjalu,
sementara di kabupaten Galuh, Bupati Wiradikusumah juga digantikan oleh
puteranya yang bernama Adipati Adikusumah (
1819-1839).
Semenjak itu Panjalu menjadi daerah kademangan di bawah kabupaten
Galuh dan putera tertua Tumenggung Cakranagara III yang bernama Raden
Demang Sumawijaya diangkat sebagai Demang Panjalu (Demang adalah jabatan
setingkat Wedana) sedangkan putera ketujuh Cakranagara III yang bernama
Raden Arya Cakradikusumah diangkat sebagai Wedana Kawali. Pada masa itu
wedana adalah jabatan satu tingkat di atas camat (asisten wedana).
Raden Demang Sumawijaya setelah mangkat digantikan oleh putera
tertuanya yang bernama Raden Demang Aldakusumah sebagai Demang Panjalu,
semantara putera tertua dari Wedana Kawali Raden Arya Cakradikusumah
yang bernama Raden Tumenggung Argakusumah diangkat menjadi Bupati
Dermayu (sekarang Indramayu) dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara
IV.
Pada tahun 1915 Kabupaten Galuh berganti nama menjadi Kabupaten
Ciamis dan dimasukkan kedalam Keresidenan Priangan setelah dilepaskan
dari wilayah administrasi Cirebon. Antara tahun 1926-1942 Ciamis
dimasukkan kedalam
afdeeling Priangan Timur bersama-sama dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Garut dengan ibukota
afdeeling
di Tasikmalaya. Pada tanggal 1 Januari 1926 Pemerintah Hindia Belanda
membagi Pulau Jawa menjadi tiga provinsi yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Panjalu dewasa ini adalah sebuah kecamatan di
Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat.
Raden Tumenggung Cakranagara III, Raden Demang Sumawijaya, Raden
Demang Aldakusumah dan Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV)
dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu, berada satu lokasi
dengan pusara Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang Borosngora.
Dewasa ini Nusa Larang dan Situ Lengkong Panjalu menjadi obyek wisata
alam dan wisata ziarah Islami utama di Kabupaten Ciamis dan selalu
ramai dikunjungi oleh para peziarah dari seluruh Indonesia terutama dari
Jawa Timur, apalagi setelah Presiden IV RI
K.H. Abdurrahman Wahid atau
Gus Dur diketahui beberapa kali berziarah di Nusa Larang dan mengaku bahwa dirinya juga adalah keturunan Panjalu.
Silsilah Panjalu
Situ Lengkong Panjalu Ciamis
Situ Lengkong sekarang termasuk kedalam wilayah Desa/Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Dalam Bahasa Sunda; kata
situ
artinya danau. Situ Lengkong atau dikenal juga dengan Situ Panjalu
terletak di ketinggian 700 m dpl. Di tengah danau tersebut terdapat
sebuah pulau yang dinamai Nusa Larang atau Nusa Gede atau ada juga yang
menyebutnya sebagai Nusa Panjalu. Menurut legenda rakyat dan Babad
Panjalu, Situ Lengkong adalah sebuah danau buatan, sebelumnya daerah ini
adalah kawasan legok (bhs. Sunda : lembah) yang mengelilingi bukit
bernama Pasir Jambu (Bhs. Sunda:
pasir artinya bukit).
Ketika Sanghyang Borosngora pulang menuntut ilmu dari tanah suci
Mekkah, ia membawa cinderamata yang salah satunya berupa air zamzam yang
dibawa dalam gayung batok kelapa berlubang-lubang (
gayung bungbas).
Air zamzam itu ditumpahkan ke dalam lembah dan menjadi cikal-bakal atau
induk air Situ Lengkong. Bukit yang ada di tengah lembah itu menjelma
menjadi sebuah pulau dan dinamai Nusa Larang, artinya pulau terlarang
atau pulau yang disucikan, sama halnya seperti kota Mekkah yang berjuluk
tanah haram yaitu tanah terlarang atau tanah yang disucikan; artinya
tidak sembarang orang boleh masuk dan terlarang berbuat hal yang
melanggar pantangan atau hukum di kawasan itu.
Pada masa pemerintahan Prabu Sanghyang Borosngora, pulau ini
dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Panjalu. Di Nusa Larang ini
bersemayam juga jasad tokoh-tokoh Kerajaan Panjalu yaitu
Prabu Rahyang Kancana,
Raden Tumenggung Cakranagara III,
Raden Demang Sumawijaya,
Raden Demang Aldakusumah,
Raden Tumenggung Argakusumah (Cakranagara IV) dan
Raden Prajasasana Kyai Sakti.
Situ Lengkong memiliki luas kurang lebih 67,2 hektare, sedangkan Nusa
Larang mempunyai luas sekitar 16 hektare. Pulau ini telah ditetapkan
sebagai cagar alam sejak tanggal 21 Februari 1919. Nusa Larang ini pada
zaman Kolonial Belanda dinamai juga Pulau Koorders sebagai bentuk
penghargaan kepada Dr Koorders, seorang pendiri sekaligus ketua pertama
Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming, yaitu sebuah perkumpulan perlindungan alam Hindia Belanda yang didirikan tahun 1863.
Sebagai seorang yang menaruh perhatian besar pada botani, Koorders
telah memelopori pencatatan berbagai jenis pohon yang ada di Pulau Jawa.
Pekerjaannya mengumpulkan
herbarium tersebut dilakukan bersama Th Valeton, seorang ahli
botani yang membantu melakukan penelitian ilmiah komposisi hutan tropika.
Koorders dan rekannya itu pada akhirnya berhasil memberikan sumbangan
pada dunia ilmu pengetahuan. Berkat kerja kerasnya kemudian terlahir
buku
Bijdragen tot de Kennis der Boomsoorten van Java, sebuah buku yang memberi sumbangan pengetahuan tentang pohon-pohon yang tumbuh di Pulau Jawa.
Sebagai cagar alam, Nusa Larang memiliki vegetasi hutan primer yang
relatif masih utuh dan tumbuh secara alami. Di sana terdapat beberapa
jenis flora seperti Kondang (
Ficus variegata), Kileho (
Sauraula Sp), dan Kihaji (
Dysoxylum). Di bagian pulau yang lebih rendah tumbuh tanaman Rotan (
Calamus Sp), Tepus (
Zingiberaceae), dan Langkap (
Arenga).
Sedangkan fauna yang hidup di pulau itu antara lain adalah Tupai (
Calosciurus nigrittatus), Burung Hantu (
Otus scop), dan Kelelawar (
Pteropus vampyrus).
Nyangku
para sesepuh dan pembawa pusaka Kerajaan Panjalu memasuki Bumi Alit
Upacara Nyangku 11 Maret 2010. Sesepuh Panjalu, berpakaian adat Sunda
warna hitam (baris kedua (kiri-kanan): HR Atong Tjakradinata (mantan
Kuwu/Kepala Desa Panjalu) & HRM Tisna Argadipraja (cicit Rd. Demang
Aldakusumah)
rombongan pembawa pusaka keluar dari Bumi Alit menuju Nusa Larang di Situ Lengkong
barisan pembawa perlengkapan upacara
para jagabaya bersenjata tombak dan golok mengawal prosesi acara
ribuan orang memadati Alun-alun Panjalu menyaksikan proses penjamasan pusaka
prosesi penjamasan pusaka (kiri-kanan) HR Afdanil Ahmad Kertadipraja & HRM Tisna Argadipraja
Nyangku adalah suatu rangkaian prosesi adat penjamasan (penyucian)
benda-benda pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora dan para Raja
serta Bupati Panjalu penerusnya yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit.
Istilah Nyangku berasal dari kata bahasa Arab "
yanko" yang artinya membersihkan, mungkin karena kesalahan pengucapan lidah orang Sunda sehingga entah sejak kapan kata
yanko berubah menjadi
nyangku.Upacara Nyangku ini dilaksanakan pada Hari Senin atau Kamis terakhir Bulan Maulud (Rabiul Awal).
Dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan untuk pelaksanaan upacara
Nyangku ini pada zaman dahulu biasanya semua keluarga keturunan Panjalu
menyediakan beras merah yang harus dikupas dengan tangan, bukan ditumbuk
sebagaimana biasa. Beras merah ini akan digunakan untuk membuat tumpeng
dan sasajen (sesaji). Pelaksanaan menguliti gabah merah dimulai sejak
tanggal 1 Mulud sampai dengan satu hari sebelum pelaksanaan Nyangku.
Disamping itu, semua warga keturunan Panjalu melakukan ziarah ke
makam Raja-raja Panjalu dan bupati-bupati penerusnya terutama makam
Prabu Rahyang Kancana di Nusa Larang Situ Lengkong. Kemudian Kuncen
(juru Kunci) Bumi Alit atau beberapa petugas yang ditunjuk panitia
pelaksanaan Nyangku melakukan pengambilan air suci untuk membersihkan
benda-benda pusaka yang berasal dari tujuh sumber mata air, yaitu:
1. Sumber air Situ Lengkong
2. Sumber air Karantenan Gunung Sawal
3. Sumber air Kapunduhan (makam Prabu Rahyang Kuning)
4. Sumber air Cipanjalu
5. Sumber air Kubang Kelong
6. Sumber air Pasanggrahan
7. Sumber air Bongbang Kancana
8. Sumber air gunung bitung
9. sumber air ciomas
Bahan-bahan lain yang diperlukan dalam pelaksanan upacara Nyangku adalah tujuh macam sesaji termasuk umbi-umbian, yaitu:
1. Tumpeng nasi merah
2. Tumpeng nasi kuning
3, Ayam panggang
4. Ikan dari Situ Lengkong
5. Sayur daun kelor
6. Telur ayam kampung
7. Umbi-umbian
Selanjutnya disertakan pula tujuh macam minuman, yaitu:
1. Kopi pahit
2. Kopi manis
3. Air putih
4. Air teh
5. Air Mawar
6. Air Bajigur
7. Rujak Pisang
Kelengkapan prosesi adat lainnya adalah sembilan payung dan kesenian gembyung untuk mengiringi jalannya upacara.
Pada malam harinya sebelum upacara Nyangku, dilaksanakanlah acara
Muludan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dihadiri oleh
para sesepuh Panjalu serta segenap masyarakat yang datang dari berbagai
pelosok sehingga suasana malam itu benar-benar meriah, apalagi biasanya
di alun-alun Panjalu juga diselenggarakan pasar malam yang semarak.
Keesokan paginya dengan berpakaian adat kerajaan para sesepuh Panjalu
berjalan beriringan menuju Bumi Alit tempat benda-benda pusaka
disimpan. Kemudian dibacakan puji-pujian dan shalawat Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya benda-benda pusaka yang telah dibalut kain putih mulai
disiapkan untuk diarak menuju tempat penjamasan. Perjalannya didiringi
dengan irama gembyung (rebana) dan pembacaan Shalawat Nabi.
Setibanya di Situ Lengkong, dengan menggunakan perahu rombongan
pembawa benda-benda pusaka itu menyeberang menuju Nusa Larang dengan
dikawal oleh dua puluh perahu lainnya. Pusaka-pusaka kemudian diarak
lagi menuju bangunan kecil yang ada di Nusa Larang. Benda-benda pusaka
itu kemudian diletakan di atas alas kasur yang khusus disediakan untuk
upacara Nyangku ini. Selanjutnya benda-benda pusaka satu persatu mulai
dibuka dari kain putih pembungkusnya.
Setelah itu benda-benda pusaka segera dibersihkan dengan tujuh sumber
mata air dan jeruk nipis, dimulai dengan pedang pusaka Prabu Sanghyang
Borosngora dan dilanjutkan dengan pusaka-pusaka yang lain.
Tahap akhir, setelah benda-benda pusaka itu selesai dicuci lalu
diolesi dengan minyak kelapa yang dibuat khusus untuk keperluan upacara
ini, kemudian dibungkus kembali dengan cara melilitkan janur lalu
dibungkus lagi dengan tujuh lapis kain putih dan diikat dengan memakai
tali dari benang boeh. Setelah itu baru kemudian dikeringkan dengan asap
kemenyan lalu diarak untuk disimpan kembali di Pasucian Bumi Alit.
Upacara adat Nyangku ini mirip dengan upacara
Sekaten di Yogyakarta juga
Panjang Jimat
di Cirebon, hanya saja selain untuk memperingati hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW, acara Nyangku juga dimaksudkan untuk mengenang jasa Prabu
Sanghyang Borosngora yang telah menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat
dan keturunannya.
Tradisi Nyangku ini konon telah dilaksanakan sejak zaman pemerintahan
Prabu Sanghyang Borosngora, pada waktu itu, Sang Prabu menjadikan
prosesi adat ini sebagai salah satu media Syiar Islam bagi rakyat
Panjalu dan sekitarnya.
Bumi Alit
Pasucian Bumi Alit atau lebih populer disebut Bumi Alit saja, mulai
dibangun sebagai tempat penyimpanan pusaka peninggalan Prabu Sanghyang
Borosngora oleh Prabu Rahyang Kancana di Dayeuh Nagasari, Ciomas.
Kata-kata
bumi alit dalam Bahasa Sunda berarti "rumah kecil" .
Benda-benda pusaka yang tersimpan di Bumi Alit itu antara lain adalah:
1. Pedang, cinderamata dari Baginda Ali RA, sebagai senjata yang
digunakan untuk pembela diri dalam rangka menyebarluaskan agama Islam.
2. Cis, berupa tombak bermata dua atau dwisula yang berfungsi sebagai
senjata pelindung dan kelengkapan dalam berdakwah atau berkhutbah dalam
rangka menyebarluaskan ajaran agama Islam.
3. Keris Komando, senjata yang digunakan oleh Raja Panjalu sebagai penanda kedudukan bahwa ia seorang Raja Panjalu.
4. Keris, sebagai pegangan para Bupati Panjalu.
5. Pancaworo, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu.
6. Bangreng, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu.
7. Gong kecil, digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan rakyat pada zaman dahulu.
8. Kujang, senjata perang khas Sunda peninggalan seorang petapa sakti
bernama Pendita Gunawisesa Wiku Trenggana (Aki Garahang) yang
diturunkan kepada para Raja Panjalu.
Pasucian Bumi Alit Panjalu 2009
Rd.Hanafi Argadipradja (1901-1973)
Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wirapraja bangunan Bumi Alit
dipindahkan dari Dayeuh Nagasari, Ciomas ke Dayeuh Panjalu seiring
dengan perpindahan kediaman Bupati Tumenggung Wirapraja ke Dayeuh
Panjalu. Pasucian Bumi Alit dewasa ini terletak di Kebon Alas, Alun-alun
Panjalu.
Pada awalnya Bumi Alit berupa taman berlumut yang dibatasi dengan
batu-batu besar serta dilelilingi dengan pohon Waregu. Bangunan Bumi
Alit berbentuk mirip lumbung padi tradisional masyarakat Sunda berupa
rumah panggung dengan kaki-kaki yang tinggi, rangkanya terbuat dari
bambu dan kayu berukir dengan dinding terbuat dari bilik bambu sedangkan
atapnya berbentuk seperti pelana terbuat dari ijuk.
Ketika di Jawa Barat terjadi pengungsian akibat pendudukan tentara
Jepang (1942-1945) benda-benda pusaka yang tersimpan di Pasucian Bumi
Alit itu diselamatkan ke kediaman sesepuh tertua keluarga Panjalu yaitu
Raden Hanafi Argadipradja, cucu Raden Demang Aldakusumah di Kebon Alas, Panjalu.
Begitu pula ketika wilayah Jawa Barat berkecamuk pemberontakan
DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan
S.M. Kartosuwiryo
(1949-1962) yang marak dengan perampokan, pembantaian dan pembakaran
rumah penduduk. Para pemberontak DI/TII itu sempat merampas benda-benda
pusaka kerajaan Panjalu dari Bumi Alit. Pusaka-pusaka itu kemudian baru
ditemukan kembali oleh aparat TNI di hutan Gunung Sawal lalu diserahkan
kepada Raden Hanafi Argadipradja, kecuali pusaka Cis sampai sekarang
tidak diketahui keberadaannya.
Pada tahun 1955, Bumi Alit dipugar oleh warga dan sesepuh Panjalu
yang bernama R.H. Sewaka (M. Sewaka) mantan Gubernur Jawa Barat
(1947-1948, 1950-1952). Hasil pemugaran itu menjadikan bentuk bangunan
Bumi Alit yang sekarang, berupa campuran bentuk mesjid zaman dahulu
dengan bentuk modern, beratap susun tiga. Di pintu masuk Museum Bumi
Alit terdapat patung ular bermahkota dan di pintu gerbangnya terdapat
patung kepala gajah. Hingga kini, pemeliharaan Museum Bumi Alit
dilakukan oleh Pemerintah Desa Panjalu yang terhimpun dalam ‘Wargi
Panjalu’ di bawah pengawasan Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten
Ciamis.
Daftar Para Batara, Raja, Bupati dan Demang Panjalu Beserta Pusara/Petilasannya
1.
Batara Tesnajati di Karantenan Gunung Sawal.
2.
Batara Layah di Karantenan Gunung Sawal.
3.
Batara Karimun Putih di Pasir Kaputihan Gunung Sawal.
4.
Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau Sanghyang Rangga Sakti di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
5.
Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
6.
Prabu Sanghyang Cakradewa di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
7.
Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II di Cimalaka Gunung Tampomas, Sumedang.
8.
Prabu Sanghyang Borosngora (adik Sanghyang Lembu Sampulur II) di Jampang Manggung, Sukabumi.
9.
Prabu Haryang Kuning di Kapunduhan Cibungur, Desa Kertamandala, Panjalu.
10.
Prabu Haryang Kancana (adik Prabu Rahyang Kuning) di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
11.
Prabu Haryang Kuluk Kukunangteko di Cilanglung Desa simpar, Panjalu.
12.
Prabu Haryang Kanjut Kadali Kancana di Sareupeun, Desa Hujungtiwu, Panjalu.
13.
Prabu Haryang Kadacayut Martabaya di Hujung Winangun, Situ Lengkong Panjalu.
14.
Prabu Haryang Kunang Natabaya di Ciramping, Desa Simpar, Panjalu.
15.
Raden Arya Sumalah di Buninagara, Desa Simpar, Panjalu.
16.
Pangeran Arya Sacanata (adik R. Arya Sumalah) di Nombo Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.
17.
Raden Arya Wirabaya (anak R. Arya Sumalah) di Cilamping, Panjalu.
18.
Raden Tumenggung Wirapraja (anak R. Arya Wirabaya) di Kebon Alas Warudoyong, Panumbangan Ciamis.
19.
Raden Tumenggung Cakranagara I (anak R. Arya Wiradipa bin Pangeran Arya Sacanata) di Cinagara, Panjalu.
20.
Raden Tumenggung Cakranagara II di Puspaligar, Panjalu.
21.
Raden Tumenggung Cakranagara III di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
22.
Raden Demang Sumawijaya di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
23.
Raden Demang Aldakusumah di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
Mitos Maung Panjalu
Bongbang Larang (ilustrasi)
Bongbang Kancana (ilustrasi)
Mempelajari sejarah dan kebudayaan Panjalu tidak akan lepas dari
berbagai tradisi, legenda, dan mitos yang menjadi dasar nilai-nilai
kearifan budaya lokal, salah satunya adalah mitos Maung Panjalu (Harimau
Panjalu). Sekelumit kisah mengenai Maung Panjalu adalah berlatar
belakang hubungan dua kerajaan besar di tanah Jawa yaitu Pajajaran
(Sunda) dan Majapahit.
Menurut Babad Panjalu kisah Maung Panjalu berawal dari Dewi
Sucilarang puteri Prabu Siliwangi yang dinikahi Pangeran Gajah Wulung
putera mahkota Raja Majaphit Prabu Brawijaya yang diboyong ke Keraton
Majapahit. Dalam kisah-kisah tradisional Sunda nama Raja-raja Pajajaran
(Sunda) disebut secara umum sebagai Prabu Siliwangi sedangkan nama
Raja-raja Majapahit disebut sebagai Prabu Brawijaya.
Ketika Dewi Sucilarang telah mengandung dan usia kandungannya semakin
mendekati persalinan, ia meminta agar dapat melahirkan di tanah
kelahirannya di Pajajaran, sang pangeran mau tidak mau harus menyetujui
permintaan isterinya itu dan diantarkanlah rombongan puteri kerajaan
Pajajaran itu ke kampung halamannya disertai pengawalan tentara
kerajaan.
Suatu ketika iring-iringan tiba di kawasan hutan belantara
Panumbangan yang masuk ke dalam wilayah Kerajaan Panjalu dan berhenti
untuk beristirahat mendirikan tenda-tenda. Di tengah gelapnya malam
tanpa diduga sang puteri melahirkan dua orang putera-puteri kembar, yang
lelaki kemudian diberi nama Bongbang Larang sedangkan yang perempuan
diberi nama Bongbang Kancana. Ari-ari kedua bayi itu disimpan dalam
sebuah
pendil (wadah terbuat dari tanah liat) dan diletakkan di atas sebuah batu besar.
Kedua bocah kembar itu tumbuh menuju remaja di lingkungan Keraton
Pakwan Pajajaran. Satu hal yang menjadi keinginan mereka adalah mengenal
dan menemui sang ayah di Majapahit, begitu kuatnya keinginan itu
sehingga Bongbang Larang dan Bongbang Kancana sepakat untuk
minggat, pergi secara diam-diam menemui ayah mereka di Majapahit.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh mereka tiba dan
beristirahat di belantara kaki Gunung Sawal, Bongbang Larang dan
Bongbang Kancana yang kehausan mencari sumber air di sekitar tempat itu
dan menemukan sebuah
pendil berisi air di atas sebuah batu besar yang sebenarnya adalah bekas wadah ari-ari mereka sendiri.
Bongbang Larang yang tak sabar langsung menenggak isi
pendil itu dengan lahap sehingga kepalanya masuk dan tersangkut di dalam
pendil
seukuran kepalanya itu. Sang adik yang kebingungan kemudian menuntun
Bongbang Larang mencari seseorang yang bisa melepaskan pendil itu dari
kepala kakaknya. Berjalan terus kearah timur akhirnya mereka bertemu
seorang kakek bernama Aki Ganjar, sayang sekali kakek itu tidak kuasa
menolong Bongbang Larang, ia kemudian menyarankan agar kedua remaja ini
menemui Aki Garahang di pondoknya arah ke utara.
Aki Garahang yang ternyata adalah seorang pendeta bergelar Pendita Gunawisesa Wiku Trenggana itu lalu memecahkan
pendil
dengan sebuah kujang sehingga terbelah menjadi dua (kujang milik sang
pendeta ini sampai sekarang masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit).
Karena karomah atau kesaktian sang pendeta, maka
pendil yang terbelah dua itu yang sebelah membentuk menjadi selokan Cipangbuangan, sedangkan sebelah lainnya menjadi
kulah (kolam mata air) bernama Pangbuangan.
Sebagai tanda terima kasih, kedua remaja itu kemudian mengabdi kepada
Aki Garahang di padepokannya, sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke
Majapahit. Suatu ketika sang pendeta bepergian untuk suatu keperluan dan
menitipkan padepokannya kepada Bongbang Larang dan Bongbang Kancana dan
berpesan agar tidak mendekati
kulah yang berada tidak jauh dari padepokan.
Kedua remaja yang penuh rasa ingin tahu itu tak bisa menahan diri
untuk mendatangi kulah terlarang yang ternyata berair jernih, penuh
dengan ikan berwarna-warni. Bongbang Larang segera saja menceburkan diri
kedalam kulah itu sementara sang adik hanya membasuh kedua tangan dan
wajah sambil merendamkan kedua kakinya.
Betapa terkejutnya sang adik ketika Bongbang Larang naik ke darat
ternyata wajah dan seluruh tubuhnya telah ditumbuhi bulu seperti seekor
harimau loreng. Tak kalah kagetnya ketika Bongbang Kancana bercermin ke
permukaan air dan ternyata wajahnya pun telah berubah seperti harimau
sehingga tak sadar menceburkan diri kedalam
kulah. Keduanyapun kini berubah menjadi dua ekor harimau kembar jantan dan betina.
Hampir saja kedua harimau itu akan dibunuh oleh Aki Garahang karena
dikira telah memangsa Bongbang Larang dan Bongbang Kancana. Namun ketika
mengetahui kedua harimau itu adalah jelmaan dua putera-puteri kerajaan
Pajajaran yang menjaga padepokannya sang Pendeta tidak bisa berbuat
apa-apa. Ia berpendapat bahwa kejadian itu sudah menjadi kehendak Yang
Mahakuasa, ia berpesan agar kedua harimau itu tidak mengganggu hewan
peliharaan orang Panjalu, apalagi kalau mengganggu orang Panjalu maka
mereka akan mendapat kutukan darinya.
Kedua harimau jejadian itu berjalan tak tentu arah hingga tiba di
Cipanjalu, tempat itu adalah kebun milik Kaprabon Panjalu yang ditanami
aneka sayuran dan buah-buahan. Di bagian hilirnya terdapat pancuran
tempat pemandian keluarga Kerajaan Panjalu. Kedua harimau itu tak
sengaja terjerat oleh sulur-sulur tanaman
paria oyong (sayuran sejenis terong-terongan) lalu jatuh terjerembab kedalam
gawul
(saluran air tertutup terbuat dari batang pohon nira yang dilubangi)
sehingga aliran air ke pemandian itu tersumbat oleh tubuh mereka.
Prabu Sanghyang Cakradewa terheran-heran ketika melihat air pancuran
di pemandiannya tidak mengeluarkan air, ia sangat terkejut manakala
diperiksa ternyata pancurannya tersumbat oleh dua ekor harimau. Hampir
saja kedua harimau itu dibunuhnya karena khawatir membahayakan
masyarakat, tapi ketika mengetahui bahwa kedua harimau itu adalah
jelmaan putera-puteri Kerajaan Pajajaran, sang Prabu menjadi jatuh iba
dan menyelamatkan mereka dari himpitan saluran air itu.
Sebagai tanda terima kasih kedua harimau itu bersumpah dihadapan
Prabu Sanghyang Cakradewa bahwa mereka tidak akan mengganggu orang
Panjalu dan keturunannya, bahkan bila diperlukan mereka bersedia datang
membantu orang Panjalu yang berada dalam kesulitan. Kecuali orang
Panjalu yang meminum air dengan cara menenggak langsung dari tempat air
minum (teko, ceret, dsb), orang Panjalu yang menanam atau memakan paria
oyong, orang Panjalu yang membuat
gawul (saluran air tertutup), maka orang-orang itu berhak menjadi mangsa harimau jejadian tersebut.
Selanjutnya kedua harimau kembar itu melanjutkan perjalanan hingga
tiba di Keraton Majapahit dan ternyata setibanya di Majapahit sang ayah
telah bertahta sebagai Raja Majapahit. Sang Prabu sangat terharu dengan
kisah perjalanan kedua putera-puteri kembarnya, ia kemudian
memerintahkan Bongbang Larang untuk menetap dan menjadi penjaga di
Keraton Pajajaran, sedangkan Bongbang Kancana diberi tugas untuk menjaga
Keraton Majapahit.
Pada waktu-waktu tertentu kedua saudara kembar ini diperkenankan
untuk saling menjenguk. Maka menurut kepercayaan leluhur Panjalu, kedua
harimau itu selalu berkeliaran untuk saling menjenguk pada setiap bulan
Maulud.
Referensi
- Argadipraja, R. Duke. (1992). Babad Panjalu Galur Raja-raja Tatar Sunda. Bandung: Mekar Rahayu.
- Atlas Indonesia & Dunia Edisi 33 Propinsi di Indonesia. (2000). Jakarta. Pustaka Sandro.
- Ayatrohaedi. (2005). Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Babad Tanah Jawi (terj). 2007. Yogyakarta: Narasi.
- Ekadjati, Edi S. (1977). Wawacan Sajarah Galuh. Bandung: EFEO.
- Ekadjati, Edi S. (2005). Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Hidayat, Yayat. Mengenal Warisan Kerajaan Panjalu. Artikel Majalah Misteri Edisi 20 Peb - 04 Mar 2010.
- Iskandar, Yoseph (1997). Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa. Bandung: Geger Sunten.
- Muljana, Slamet. (1979). Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.
- Munoz, Paul Michel. (2006). Early Kingdoms of Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet Pte Ltd.
- Suganda, Her. Situ Lengkong dan Nusalarang, Wisata Alami yang Islami. Artikel Harian Kompas, 21 Juni 2003.
- Suganda, Her. Naskah Sunda Kuno Antara Sejarah dan Nilai Sakral. Artikel Harian Kompas, 24 Mei 2008.
- Sukardja, H.Djadja. (2002). Situs Karangkamulyan. Ciamis: H. Djadja Sukardja S.
- Sutarwan, Aam Permana. Gus Dur "Merevisi" Sejarah Situ Lengkong Panjalu, Air Situ Lengkong berasal dari Mekah. Artikel Harian Pikiran Rakyat, 10 Juli 2000.
- Sumaryadi, Sugeng/Eriez M Rizal. Menengok Rahasia Sukses Warga Panjalu. Artikel Harian Media Indonesia, 13 Maret 2004.
- Sumaryadi, Sugeng. Sejarah Panjang yang Terus Dikenang. Artikel Harian Media Indonesia, 13 Maret 2004.
- Tim Peneliti Sejarah Galuh (1972). Galuh Ciamis dan Tinjauan Sejarah.